...

22 Oktober 2020

Sumatera, Darurat Asap

kompas 3

Foto dok. Kompas

Akhir Agustus 2015, asap kembali lagi menghantui warga Sumatera dan sekitarnya. Petaka akibat pembakaran hutan ini terus berulang tiap tahun. Media nasional memberitakan 80% wilayah Sumatera telah diselimuti asap. Jarak pandang berkisar 50 – 300 meter dan ratusan titik api telah terpantau menyebar di Sumatera.

Imbasnya, beberapa sekolah di daerah Sumatera terpaksa diliburkan guna mengurangi resiko dampak asap terhadap anak. Tak hanya dari segi pendidikan tetapi dari segi kesehatan. Mereka yang terpapar asap bisa saja menderita infeksi saluran pernapasan akut. Begitu pula mereka yang lanjut usia yang fungsi pernafasannya sudah menurun. Paparan asap yang menyerang lingkungan mereka makin memperparah kemampuan mereka mengisap oksigen yang bersih.

Kualitas udara di wilayah terpapar asap sangat buruk. Data menyebutkan, pada tanggal 3 September 2015, indeks standar pencemaran udara di Riau mencapai 500 (masuk kategori sangat berbahaya bagi manusia). Sedangkan dari dampak ekonomi, melihat banyaknya penundaan penerbangan akibat jarak pandang yang dekat jelas berimbas pada sektor perdagangan dan wisata.
Belum lagi dampak yang tidak langsung bisa dirasakan. Seperti, berapa persen tutupan lahan yang berkurang akibat pohon yang terbakar dan berapa banyak flora fauna langka yang mati karena asap. Dengan rusaknya sebagian ekosistem, akan berimbas pada keseimbangannya, misalnya gangguan pada keseimbangan siklus hara atau kesuburan tanah, berkurangnya serapan air, dan lain-lain. Jika keseimbangan ekosistem tidak terjaga maka dikemudian hari imbasnya akan kembali lagi kepada manusia.

Presiden Jokowi telah menyatakan komitmennya setelah blusukan asap di Riau November tahun 2014 lalu, untuk segera melakukan langkah-langkah mengatasi kebakaran hutan dan lahan sehingga pada 2015 Indonesia terbebas dari bencana asap. Faktanya tidak demikian. Dalam beberapa bulan ini asap kembali melanda setidaknya 66 kabupaten/kota di lima provinsi yang selalu langganan bencana asap, yakni Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat dengan titik api mencapai 20.253 per Februari 2015. Fakta lain menunjukam tak ada perubahan signifikan dari peristiwa kebakaran tahun lalu dengan tahun ini, sebagian sebaran kebakaran berada di wilayah konsesi, tulis Khalisah pada Opini Kompas 7 September 2015.

Penanganan yang terpadu serta penegakan hukum terhadap pelaku pemicu kebakaran agaknya menjadi kunci untuk menanggulangi bencana yang rutin berulang ini. Melalui penguatan perangkat hukum-kebijakan (dari daerah sampai desa) harapannya dapat menjadi solusi dari penegakan atau supremasi hukum terhadap para pelaku pembakaran hutan. Adanya produk hukum dan kebijakan dari tingkat yang paling kecil seperti peraturan desa (perdes) tentang pembakaran hutan dapat dengan gamblang menjerat pelaku. Aturan di tingkat desa dapat menjadi peringatan kepada masyarakat agar waspada. Aturan ini juga dapat membentengi masyarakat dari hasutan membakar hutan. Kemudian dengan penguatan kelembagaan, harapannya akan dapat memberikan ‘senjata’ bagi masyarakat untuk dengan mudah menangkap pelaku pembakaran hutan.

Penggunaan teknologi agaknya dapat membantu mengidentifikasi asal dari sumber kebakaran. Data hotspot yang terus menerus diupdate oleh BMKG seharusnya ditindaklanjuti dengan menghukum pelaku pembakaran dengan hukuman yang menimbulkan efek jera. Bukan hanya pelaku lapangan, tetapi aktor intelektual atau pemilik lahan seharusnya bisa dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Namun urusan juga tidak serta merta selesai setelah kebakaran hutan padam dan pelaku ditangkap. Pekerjaan yang lebih besar menunggu, yaitu mengembalikan lahan mendekati kondisi semula. Untuk itu program restorasi dan rehabilitasi lahan perlu dilakukan.

Masyarakat sekitar hutan sebagai masyarakat yang sangat dekat dengan hutan diharapkan dapat menjadi aktor utama konservasi dan pembangunan hutan secara berkelanjutan. Daerah tempat tinggal mereka diharapkan mampu menjadi penyangga kawasan hutan. Dengan kelembagaan yang kuat dan hukum-kebijakan yang masyarakat miliki dapat membentengi masyarakat luar dari upaya pembakaran hutan. Mereka juga diharapkan menjadi ujung tombak suksesnya restorasi habitat dan konservasi perlindungan satwa di dalam hutan. Dengan demikian, bersama masyarakat bencana asap tahunan dapat ditanggulangi. [Yudha Ari Nugroho]

SHARE:
Berita lainnya